Mamasa Selembut Awan

Panorama awan dan air terjun adalah bagian dari keindahan alam Mamasa, Sulawesi Barat. perkampungan dengan rumah-rumah tradisionalnya tersebar di pegunungan menawarkan eksotisme yang akan terekam dalam ingatan.
KABUPATEN  Mamasa terletak pada ketinggian 600-2.000 mdpl. Lanskap pegunungan itu menawarkan eksotisme, meskkipu ada tantangan tersendiir untuk menjangkau kawasan itu, karena kendala infrastruktur yang tak mudah dibangun.
Perjalanan dengan mobil d ari Mamuju, ibu kota SulBar, ke Mamasa menghabiskan waktu sekitar 8 jam. Jika ditempuh dari Makassar, SulSel, masih via perjalnaan darat, setidaknya dibutuhkan waktu 11 jam. Di Kecamatan Sumarorong di Mamasa sebenarnya terdapat bandara, tetapi sejak enam bulan terakhir jadwal penerbangan dari Makassar ke bandara itu tak menentu.
Salah satu pemandangan alam mengesankan disguhkan Mamasa di bukit Buntu Liarra, di perbagtasan Kecamatan Balla dan Tanduk Kalua, Pemandangna bentangna awan memenuhi lembah luas dapat dinikmati dari bukit itu. Tak ada kampung, hutan dan jalan raya terlihat. Ceruk itu bak diselimuti kapas putih yang enggan bergerak.
Rangkaian pegunungan dari timur ke barat di latar belakang seolah menjaga agar awan tak cepat menguap dari lembah itu.
Kicauan burung pun menambah semarak suasana. Panorama awan itu paling tepat dinikmati di pagi hari, sekitar pukul 05.45 hignga 07.45. Wita.

Negeri Awan
Wisata “negeri di atas awan” itu populer dalam setahun terakhir. Penunjung ramai-ramai ke sana setelah obyek wista itu dunggah oleh para pengguna media sosial.
“Saat musim kemarau, pengunjung bermalam di tenda-tenda untuk menikmati panorama awan pada pagi hari,” kata Rizal Tandira’ba, pengunjung dari kota Mamasa, ibu kota Kabupaten Mamasa, yang ditemuyi beberapa waktu lalu. Ia datang ke bukit itu bersama seorang teman.
Selain pemandangan awan, pengunjung bisa juga menikmati matahari terbit dari Buntu Liaara. Fajar mentari  berwarna keemasan muncul perlahan-lahan dari balik gunung di sisi timur bukit. Perpaduan matahari terbit di satu sisi dan bentangan awan putih di sisi lain menyuguhkan sensai ternsendiri.
Buntu Liarra dapat dicapai sekitar satu jam perjalan darat dari kota Mamasa. ASapal di sepanjang  jalan menuju bukit itu hampir semau terkelupas dan menyisakan lubang. Sebelum tiba di Bukit Liarra, pengunjung sebaiknay berjalan kaki selepas rumah warga di Desa Balla Tumuka sejauh 700 m. Jalan tanah yang menanjak dan menurun dengna batu kecil berserakan akan menyulitkan pengendara.

Air terjun
Bila berkunjung ke Mamasa, jangan lewatkan kesempatan utnuk menikmati air terjun Liawan. Anugerah ala mini terelat di Desa Liawan, Kecamatan Sumarorong. Air terjun setingga sekitar 60 m dengna alur di kedua sisinya yang ditumbuhi pepohonan. Air jatuh ini memantul empat kali di batu sebelum meluncur kelubuk yang bening. Suasana sejuk pun menyelimuti lingkungan sekelilingnya.
Air tejun tersebut berajrak sektiar 3 km dair jalan raya menuju kota Mamasa. Jalna kases ini beton, kecuali sekitar 300 m menuju lokasi air terjun yang masih berupa jalan tanah. Pengunjung melewati rumah warga Deswsa Liawan, kemudian melintasi sepetak sawah sebelum tiba di air terjun.

Air terjun Liawan memiliki lubuk luas dnegna kedalaman hingga 3 m. Dengan air yang begitu sejuk, lubuk itu sangat cocok untuk berenang. Pasir dan bebatuan yagn tidak licin melaspisi dasar lubuk. Tak ada lumpur di dasar lubuk yang dpat mengganggu kenyamanan pengunjung menikmati kesejukan air.
“Saya selalu menyempatkan diri berendam di sini. Saya tidak eprnah bosan,’ kata Dominikus Gampur (46), waga Sumarorong yang dijumpai di lokasi air terjun tersebut.
Obyek wisata air terjun Liawan dikelola Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Mamasa. Ada banyak bungalow yang dibangun di sekitar lokasi di kedua sisi sungai. Kamar-kamar tersebut dibangun di bawaah pepohonan rindang.

Balla Pe’u
Kepingan masa silam suku Mamasa bisa dinikmati melalui pemadnang rumah-rumah panggung yangdisebut banua, di Kecamatan Balla Pe’u, Desa Tumuka. Rumah ini berjajar dengan orientasi timur-barat. Atap depa ndan belakangnya melengkung. Dari ketinggian, atap rumah-rumah itu hampir sejajar sehingga tampak seperti atap dari satu bangunan.
Balla Pe’u terleat di bukti pada cabang jalan ke buntu Liarra. Kampung teradisional ini telah ditetapkan sebagai obyek wisata di Mamasa.
Di kampung itu, rumah-rumah dibangun mirip dengna kosntsruki utama dari kayu. Atap rumah seng, sebelumnya dibuat dari alang-alang. Pintu rumah menghadap ke timur menyongsong matahari pagi. Bagia ndalam rumah rata-rata terdiri dari lima ruang, yaitu teras, karma pertama utnuk upacara adat (tado), ruang tamu (baba), ruang keluarga (sondong), dan dapur (lombong).
Masing-masing rumah memiliki lumbung (alang) yang dibnagun terpisah di halaman depan dengna orientasi utara-selatan. Lumbung ini msih dipakai untuk menyimpan hasil bumi.

Model rumah teradisional Mamasa mirip dengna rumah tradisional Tana Toraja di SulSel yang disebut tongkonan. Perbedaan antara keduanya terletak pada bntu klengkungan atap bagian depan dan belakang. Pada rumah teradisional Mamasa, lengkung depan dan belakang atap lebih landai dan relative pendek. Sebaliknya, pada rumah tradisional Tana Toraja, lengkung di kedua sisi itu sangat tajam dan lebih tinggi.
pembeda dari satu rumah ke ruma hlain adalah ornament di dinding papan atau tiang utama depan rumah . Ada rumah yang papa ndan tiangnya diukir (banua sura), dicat warna hitam (banua bolong), dan rumah papan polos (banua rapak). Pembeda lain ,yakni pada banayak atau sedikitnya tanduk keerbau yang digantung di tiang utama bagian depan rumah.
Menurut Lanto Jeboyong (56), tokoh masyarakat Balla Pe’u, rumah itu menunjukkan status sosial-ekonomi. Pemilik rumah berukir adalah kalangan berada. Pengukiran dilakukan dengan ritual yang disertai penyembelihan banyak kerbau. Adapun penghuni rumah cat hitam rata-rata berkonomi menengah, sedangkan rumah tanpa ukiran atau cat berasal dari keluarga yang berekonomi pas-pasan.
Banyak atau sedikitnya gantaugan tanduk kerbau juga merujuk pada hal sama. Makin banyak tanduk kerbau menunjukkan makin “berada” tingkat ekonomi pemilik rumah.

Sebagian besar kampung di pegunungan masih mempertahanak bnetuk rumah tradisional suku Mamasa. Selain Balla Pe’u, rumah-rumah tradisional juga bisa disaksikan di desa Balla Satanatean, Kecamatan Balla.
Bedanya, di Balla Pe’u rumah-rumah dibangun ahnay dalam satu sisi dan satu orientasi arah mata angin. Di Kampung lain, rumah dibangun tak beraturan.

[Sumber: Kompas, MInggu, 8 Juli 2018 |Oleh: Videlis Jemali]

Comments

Popular Posts