Kemolekan Shirakawa-go

Seperti rumah kue jahe (“gingerbread house”) di atas krim. Itulah kesan pertama saat mata memandang Shirakawa-go di kaki Gunung Haku. Prefektru Gifu, Jepang. Salju yang berjatuhan dari langit pada awal musim dingin di sekitar rumah-rumah tradisional berwarna kecoklatan di desa itu mengundang hasrat untuk mencuil dan mencicipi sedikit kemolekannya yang tersohor.
PERJALANAN selama 30 menit dari terminal bus di Takayama menuju Shirakawa-go diisi rasa penasaran dan antusiasme. Bus berjalan dengan laju konstan di jalan berkelok-kelok dan menanjak dengan pemandangna tumpukan alju di kanan kiri. Lembah dan pegunungan berwarna putih.
Mendekati Shirakawa-go atau Desa Shirakawa, salju turun semakin lebat. Timbunan salju kian tinggi. Suhu sudah 0 derajat Celsius. Namun, semua itu tak menyurutkan sukacita  menyambangi temapt yang berpredikat Situs Warisasn Budaya Dunia tersebut.
Tiba di terminal bus, rombongan wartawan dari Indonesia dan Malaysia langsugn dibawa ke Shirakawa Observation Deck. Temaptnay di atas bukit. Dari sinilah bentangan Shirakawa-go terlihat sempurna hingga ke sudut-sudutnya.
Barisan wartawan mengular, antre untuk berfoto dengan latar belakang pemandangan desa yang menakjubkan. “Geser ke kiri sedikit. Senyum. Sah cheese…,” seru pemandu wisata, merangkap juru foto sukarela bagi para wartawan. Tak puas dengna hanya dua tiga jeperetan, wisatwan pun beraksi dengan kamera atau ponsel sendiri.
Rumah-rumah tradisional dengna gaya gasho-zukuri yang erbuat dari kayu terliaht keicl di bawah. Tanah, jalan ,dan tap rumah tertutup salju putih. Hutan membentang di latar belakangnya. Di kejauhan , pegunungna berdiri anggun. Berdiri memandang panorama saja sudah menyenangkan.
Dari dek observasi, tibalah saatnay utnuk berjalan-jalan menjelajah Shirakawa-go. Desa ini dan Gokayama mendapatkan status Situs Warisan Budaya Dunia dari UNESCO tahun 1995. Shirakawa-go yang terletak di bagian barat laut Prefektur Gifu dikelilingi pegunungan. Sebanyak 90 persen kawasannya berapa hutan. alam masih perawan, tak terjamah dalam keasliannya.
Hujan salju di desa ini merupakan salah satu yang paling lebat di Jepang. Tumpukkan salju bisa setinggi 2-3 m saat musim salju sepanjang Desember-Maret. Salju pulalah yang sering menutup akses menuju Shirakawa-go, membuatnya terisolasi selama ratusan tahun.
Satu-satunya.
Keindahan Shirakawa-go tertutam diwarnai oleh keunikan bentuk rumah tradisional yang bertahan tak lekang zaman. Gaya gasho-zukuri atau sering disebut sebagai bentuk segitiga menyerupai tangan yagn sedang berdoa dikatakan sebagai satu-satunya yang ada di Jepang.
Rumah-rumah dari balok kayu itu disatukan tnapa satu keeping paku pun. Atapnya miring terjal, terbuat dari jerami. Kemiringan atap dirancang sedemikian rupa shingga ikut menopang salju yang berat. Kondiis cuaca yagn berat, terutama salju dan angin kencang dari pegunungna, menuntun pembuatan rumah agar selaras dengan alam, bukan melawannya.
Rumah gusho-zukuri ini dibuat tahun 1800 dan tetatp kokoh berdiri hingga kini. Tahun 1924, tercatat masi hada 300-an rumah . Setelah terjadi banjir akibat luapan  bendugnan tak juah dair desa ini, ditmbah kebakaran, sekarang tersisa 114 rumah .Semuanya masih dihuni dan digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Masih kokohnya rumah ini tak lepas dari gotong royong masyarakat, terutama saat mengganti atap jerami secara rutin dalam periode tertentu.
Pelestarian rumah inilah, berikut nilai-nilai yang dihidupi masyarakatnya utnuk menyokong kehidupan di temgah alam yang keras, membuat mereka layak menyandang  status Situs Warisan Budaya Dunia. Hampir tidak ada perubahan signifikan terhadap system jalan, aknal, dan pola pemanfaatan lahan.
“(Tempat) ini adalah contoh mengagumkan bagaimana sebuah cara hidup tradisional beradapatiasi dengan sempurna terhadap lingkungannya. Mereka melestarikan bukti spiritual dan material atas sejarah panajgn mereka,” demikan tertulllis di laman UNESCO.
Petualangan
Menyusuri jalan-jalan Desa Shirakawa-go yang berselimut salju adalah petualangan spektakuler. Di sana-sini yang tampak adalah keriaan. Wisatawan bermain di tengah salju atau menyantap cita rasa lokal dan memilih-milih buah tangan.
Tujuan pertama adalah Wada House, rumah terbesar di Shirakawa-go dan terbuka untuk umum. Dengan tiket masuk seharga 300 yen atau sekitar Rp 300.000 pengunjung bisa mencicipi pengalaman berada di rumah tradisional berusia ratusan tahun.
Kebun, pagar, dan saluran air di rumah mililik keluarga Wada ini tetap dipertahankan sesuai aslinya. Sebagian berlanati 1 dan lantai 2 dibuka untuk umuy, tempat pengunjung bisa menyaksikan berbagai perkakas dan barang-barang tradisional yagn digunakan keluarga ini secara turun-temurun selama ratusan  tahun.
Kita bisa melihat tungku tempat keluarga memasak dan berkumpul. Peralatan dapur dan makan dipajang di dalam semacam lemari kaca. Ada pula sepatu, sandal, tas, dan penutup kepala yang terbuat dari jerami. Pengunjung bisa melihat jalinan tali-temali yang kuat mengikat kayu-kayu penopang rumah.
Dapat dibayangkan seperti apa kehidupan masyarakat Shirakawa-go semasa belum menjadi tempat tujuan wisata. Ketika zaman Edo, saat sutra mencapai  masa jayanya, warga desa ini menanam pohon murbei dan mengembangkan ulat sutra. Loeteng rumah digunakan sebagai tmepat produksi benang sutra.
Jalan utama desa yagn cukup lebar bebas dari salju. Tamapk beberapa mobil berlalu-lalang. Setelah dikenal masyarakat luar, desa ini menjadi ramai dikunjungi wisatawan. Sepanjagn tahun mereka disuguhi emapt pemandangan berbeda, sesuai dengan musimnya.
Sejumlah rumah disulap menjadi museum kecil atau galeri, beberapa diantaranya juga difungsikan sebagai penginapan untuk memenuhi kebutahan para wisatawan yang ingin merasakan tinggal beberapa waktu di desa unik tersebut.  Beberapa bangunan dengan gaya yang lebih modern muncul dan dimanfaatkan sebagai restoran dan toko suvernir.
Kobayashi-san, pemadnu rombongan, mengatakan , tak cukup hanya satu dua jam menikmati Shirakawa-go. “Kalau kurang (waktu), besok-besok bisa kembali ke sini lagi, ya,” katanya dalma bahasa Indonesia yang lancar.

Segala kisah yang melingkupi perjalanan ke Shirakawa-go menyusuri zaman semakin membuat kunjungan singkat itu terasa lebih istimewa. Salu masih setia menemani  sampai kaki melangkah meninggalkan lembah. Secuil kue rumah jahe id atas tumpukan krim itu tersimpan rapi di sudut memori. [Kompas, Minggu 11 Februari 2018|Oleh Francisca Romana Ninik]

Comments

Popular Posts