EKSPEDISI CINCIN API |KRAKATAU

Tukang-Jalan.com® - SETELAH 200 tahun tertidur, pada 19 Mei 1882, Batavia (Jakarta) dikejutkan dengan dentuman keras, melebihi bunyi meriam terkeras. Kaca-kaca jendela bergetar hebat bahkan jam dinding berhenti berdetak karena sapuan gelombang kejut. Abu dan batu apung berjatuhan di Selat Sunda, menggiring orang untuk melongok ke puncak Perbuatan, salah atu puncak di pulau gunung api Krakatau, yang tiba-tiba meletus.
Namun, setelah kegaduhan itu, Krakatau kembali tenang. Pulau dengan tiga kawah itu tidur tenang, dikitari laut biru yang dalam. Setelah hari keempat berlalu dengan damai, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik s’Jacob menyimpulkan saat yang bagus untuk melihat Krakatau dari dekat, melihat apa yang terjadi, dan yang lebih penting lagi: untuk menyimpulkan apakah kejadian serupa bisa terulang kembali. Dia mengutus insinyur pertambangan, AL Schuurman, pergi ke sana.
Berbeda dengan kekhawatiran s’Jacob, perusahaan pelayaran The Netherlands Indies Steamship Companya melihat Krakatau sebagai potensi besar untuk mendatangkan turis sehingga dengan sigap menyodorkan kapal wisata, Gouvernuer-General Loudon. “Pada Sabtu, 26 Mei, perwakilan perusahaan menempelkan pengumuman di klub Harmonie dan Concordia, mengiklankan ‘wisata menyenangkan’ dan mengumumkan harga yang kompetitif sebesar hanya 25 guilder,” tulis Winchester.
Pada minggu sore, kapal uap berbobot mati 1.239 ton itu terisi penuh dengan 86 penumpang dan Schuurman berada di antara mereka sebagai wakil dari pemerintah. Setelah berlayar semalmaan, kapaten Loudoun, TH Lindeman, membuang sauh dari pulau itu. Dia meminjamkan perahu kepada Schuurman. Ditemnai beberapa orang yang berani dan penuh rasa ingin tahu, Schurrman mendekati pulau dengan susah payah.
“Dengan mengikuti jejak orang yang paling berani atau mungkin yang paling tolol, kami mendaki lebih jauh tanpa halangan apa pun selain abu yang ambles di bawah kaki kami. Jalannya berada di atas bukit dari mana kami bisa melihat beberapa pokok pohon yang patah mencuat dari lapisan abu, beberapa tonggak menunjukkan bahwa cabang-cabangnya direnggut dengan paksa,” tulis Schuurman.
Kelompok kecil ini terus merangsek naik dengna nekad hingga mendekati dasar kawah, yang menurut Schuurman tertutup oleh “lerak buram berkilat-kilat,” yang kadang-kadang membara merah dan mengeluarkan “gulungan asap dalam gelembung-gelembung raksasa yang banyak tapi rapat”. Schuurman akhirnya kembali ke Loudoun setelah Lindeman berkali-kali membunyikan klakson.
Dua bulan kemudian Krakatau berangsur dilupakan, kapten angkatan darat Belanda, HJG Ferzenaar, diperintahkan mensurvei Krakatau untuk kepentingan topografi militer. Dia melewatkan dua hari di sana dan mencatat ada 14 lubang semburan di atas pulau itu. Ia membuat peta pulau itu secara detail, termasuk titik-titik berwarna merah yang menjadi pusat semburan.
Dia memberi catatan bahwa survey yang leibh rinci “harus menunggu sampai nanti, sebab pengukuran di sana masih berbahaya: setidaknya, saya tidak akan suka menerima tanggung jawab mengirimkan seorang surveyor.”
Namun, Krakatau tidak pernah bisa dipetakan lagi. Pada 27 Agustus 1883, pulau ini meledak dan hancur berkeping-keping. Peta Pulau Krakatau yang dibuat Ferzenaar adalah yang terakhir yang pernah dibuat.
Ledakan berkekuatan 21.574 kali bom atom (De Neve, 1984) itu tak hanya menghancurkan tubuh Pulau Krakatau. Kehancuran juga melnada pesisir Banten dan Lampung. Gelombang awan panas dan tsunami melanda, menghancurkan desa-desa di pesisir Banten dan Lampung, serta menewaskan lebih dari 36.000 jiwa.
Kengerian itu digambarkan oleh Muhammad Saelh dalam syair Lampung Karam, satu-satunya laporang pandangan mata yang dibuat pribumi tentang letusan Krakatau. Muhammad Saleh lewat bait syairnya menggambarkan di atas langit terlihat seperti buagna api beterbangan seperti bahala yang diturunkan Tuhan dan membuat hati takut bukan kepalang. Kegelapa nmenyelimuti, guncangan gempa tida henti, dan datang gelombang menghayutkan. “Besar gelombang tidak terperi, lalulah masuk ke dalam negeri, berlarian orang ke sana ke mari…,” tulis Muhammad Saleh.
Petaka Krakatau itu menambah derita rakyat yang berates tahun disengsarakan ekonomi colonial dan priyayi pribumi yang mengisap. “Tak disangsikan lagi bahwa wabah penyaikit ternak dan wabah demam, serta kelaparan yagn diakbiatkannya, dan letusan gunung Krakatau yang menyusul, telah menjadi pukulan hebat bagi penduduk,” tulis Sanrotno Kartodirdjo, dalam buku Pemberontakan Petani di Banten 1888.
Menurut sejarawan terkemuka ini,”…letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap menjadi lebih besar lagi, terutama di bagian barat afdeling Caringin dan Anyer.” Kondisi kesengsaraan yang kemudian bertemu dengna gerakan sosial-keagamaan ini menjadi pemantik kesadaran rakyat untuk melawan Belanda, yang dianggap sebagai pendosa dan biang dari segala kesengsaraan itu.
Dua bulan setelah letusan Krakatau, kerusuhan pecah di Serang. Seorang serdadu Belanda ditikam, pelakunya kabur di tengah keramaian. Kejadian berulang sebulan kemudian. Serentetan perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan hingga pada Juli 1888 muncullah pemberontakan petani Banten.
Letusan Krakatau dalam catatan
Saat letusan Krakatau tahun 1883, teknik pendokumentasian canggih seperti sekaran belum ada. Sekalipun seismograf mulai dikembangkan, belum ada jaringan yang mendunia, apalagi seismograf yang beroperasi dalam radisu 5.000 km dari Krakatau maupun teknologi satelit.
Rekaman suara seperti telepon dan radio telah ditemukan, tetapi belum digunakan di balahan timur dunia. Teknologi film sudha lahir, tetapi belum flesibel dan mudah dibawa seperti saat ini. Keterbatasan ini membuat dokumentasi lewat tulisan lebih banyak tersedia. Korespondensi, jurnal, dan berita Koran merupakan rekaman utama peristiwa letusan Krakatau.
Catatan-catatan dikumpulkan Tom Simkin dan Richard S Fiske dalam bukunya Krakatau 1883: The Volcanic Eruption and Its Effects. Sementara satu-satunya tulisan pribumi tentang letusan itu termuat dlama “syair lampung karam” yang dialih aksarakan Suryadi Sunuri. Beriktu beberapa ringkasan catatan-catatan tersebut.
Minggu 26 Agustus 1883, kapal mulai dihujani abu dan batu apung. Angin mulai bertiup kencang dan kapal berjuagn melewati Krakatau, lalu melepas jangkar di dekat Teluk Betung, Lampung Senin 27 Agustus , sekitar pukul 7 terlihat gelombang besar yang kemudian tumpah dan menyapu daratan. Dengan tenaga uap, kapal menuju Anyer sementara hujan lumpur dan abu membuat lapisan tebal dan orang sulit bernapas. Suasanas emaki ngelap dan pukul 10.30 pagi kegelapan total segelap malam menyelimuti. Disusul angin topan dan gelombang tinggi setinggu surga (langit) dan membuat orang-orang khawatir bakal terkubur gelombang, namun kapal terus melaju dengan kepala kapal menghadap ke gelombang. Sore hari, angin mereda. Kegelapan menyelimuti hingga subuh pukul 4 keesokan harinya, 28 Agustus. Hari itu, sekitar pukul 6.50 sore, sampa idengan selamat di Teluk Bantan. Dalma perjalanan pulang itu, terlihat bagian tengah Krakatau telah menghilang.
Laporang Koran Java Bode
Senin 27 Agustus 1883, tiba-tiba sekitar pukul 9, langit menjadi gelap. Orang-orang tidak bisa melihat dalam jarak dekat dan lilin-lilin pun dinyalakan. Abu mulai berjatuhan, sementara langit di bagian barat tampak cahaya kekuningan. Telegram pertama diterima dari Serang yang mengabarkan letusan Krakatau. Letusannya terdengar dan pijaran apinya terlihat pada malam hari di Serang. 28 Agustus 1883, dari Serang datang kabar kondisi hujan abu dan korban jiwa di Anyer.
GF Tydeman adalah seorang letnan kapal perang Koningin Emma der Nederlander. Tydeman menceritakan kedatangan tsunami.
Pukul 9.30 pagi, kegelapan mulai menyelimuti f. tekanna udara did alma kapal berubah drastic, menimbulkan tekanan aneh di telinga. Sementara itu, hujan abu semakin tebal. Bukan tekanan angin ternyata, melainkan tekanan air yang mengganggu kapal hingga pukul 12.00 siang. Air mulai naik dengan cepat sebelum sore hari. Begitu cepat dan tingginya sehingga segera menyapu bagian atas dermaga. Dan tiba-tiba air bergulung menuju permukiman, dari sana terdengar teriakan dan tangis ketakutan. Orang-orang dalam paniknya berusaha memanjat apa pun yang mengambang, ke kapal-kapal di dermaga, kapal uap pemerintah Siak, dan akhirnya juga ke kapal Tyedemann.
Satu-satunya kesaksian pribumi ditulis  Muhammad Saleh dalam bentuk Syair Lampung Karam. Ahli filologi dan dosen/peneliti di Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, mengalihaksarakan naskah yang aslinya ditulis dalma bahasa Arab Melayu (Jawi). Setelah meneliti Syair  itu, Suryadi berpendapat, pengarang menulis syair itu, di Kampung Bengkulu yang kemudian dikenal sebagai Cencoolen Street di Singapura. Muhammad Saleh menyatakan datang dari Tanjung Karang, Lampung, dan mengaku menyaksikan langsung malapetaka akibat letusan Krakatau. Boleh jadi Saleh mengungsi ke Singapura lantaran bencana itu. Berikut penggalan syairnya yang menceritakan kedahsyatan letusan Krakatau:
Di dalam hal demikian peri,
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tidak tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya,
Di dalam perahu, sampan, lokeknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya.
…[*/tukang-jalan.com dari KOMPAS, 19 NOVEMBER 2011|OLEH : AHAMD ARIF,INDIRA PERMANASARI, YULIVINUS HARJONO,C ANTO SAPTOWALYONO]
Baca juga : Krakatau menyingkap rahasia kehidupan bisa juga disaksikan melaui audio visual dengan judul Krakatau, krakatu reveal (BBC) dan Journey from the center of the earth. Jejak ekspedisi melalui foto 360 derajat ‘virtual reality’ di www.cincinapi.com. Ekspedisi cincin api Krakatau menyingkap kehidupan bisa diunduh melalui App Store. Lihat juga video nya “Krakatau Purba dan Letusannya” di vod.kompas.com/krakataupurba dan sebagai selingan bisa unduh article : pulang ke rumah desa

Keywords :  Krakatau,Anak Krakatau
Tags :  Anak Krakatau,krakatu,Supervolcano.
Description :   15 Agustus 2011, Langit cerah tanpa awan. Matahari terasa dekat, teriknya memanggang. Puncak Anak Krakatau menyemburkan asap tipis, delapan puluh meter dari jangkauan. Batua nlepas berguguran saat diinjak dan udara bertuba menyesakkan napas.
Excerpt : Gelombang awan panas dan tsunami melanda, menghancurkan desa-desa di pesisir Banten dan Lampung, menewaskan lebih dari 36.000 jiwa!.

#Batu-batu besar di Pantai Batu Hideung di kawasan pesisir Tanjung Lesung, Banten, Jumat (19/8), menunjukkan tipe batuan piroklastik. Tipe batuan tersebut adalah hasil pembekuan langsung dari magma atau lava yang terdiri dari himpunan material lepas yang bersatu akibat aktivitas eksplosif atau letusan gunung berapi. Batu-batu ini banya kterdapat di sejumlah titik di pesisir Banten yang berjarak sekitar 42 km dari kompleks Gunung Anak Krakatau.


Comments

Popular Posts