EKSPEDISI CINCIN API |Agung-Rinjani yang Menghidupkan dan Mematikan

Tukang-Jalan.com® - DI BALI,  gunung api memang bukan hanya soal geologi dan geofisika. Ada budaya yang berimpit di sana. Letusan gunung api dipecaya terkait dengan ulah manusia. Karena itu, masyarakat selalu berupaya menjalin harmoni dengan “penguasa” gunung. Kepercayaan ini sudah tertanam pad amasa raja-raja Bali.
Kegagalan dan kesuksesan raja-raja Bali pada masa lalu selalu dikaitkan dengan bagaimana mereka menjalin hubungan dengan penguasa gunung utamanya Gunung Agung. Konsep ini, menurut Davis J Stuart-Fox (2010), semakin menguat pasca-penguasaan Majapahit ke Bali pada 1343. “Dalam kepecayaan Majaphait-Jawa, gunung sebagai lokus dewata memainkan peranan penting,” tulis David.
Babad Dalem, catatan dari dinasti raja-raja di Gelgel yang ditulis sekitar abad ke-18, mengisahkan, kesuksesan Dalem Ketut Ngulesir memerintah tak lepasa dari hubungannya dengan Hyang Tolangkir (Penguasa Gunung Agung). Teks tersebut mengungkapkan, “Selama pemerintah Dalem (Ketut Ngulesir) di Gelgel yang sangat lama, suasana yang damai menyelimuti negara, seolah-olah Hyang Tolangkir telah memanisfestasikan dirinya…”
Jejak kepercayaan tehadap gunung itu masih terlihat hingga kini. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat Bali berpusat pada gunung. Orientasi arah dalam masyarakat Bali, yakni kaja dan kelod, menempatkan gunung sebagai sesuatu yang adiluhur. Antropolog I Wayan Suwena dalam t ulisannya, Makna Orientasi Arah di Bali, 2003, menyebutkan, kata kaja berasal dari kata ka-adi-a yang berarti ‘arah yang adi, tinggi, atau luhur’. Sebaliknya, arah kelod diidentikan dengan arah laut.
Menurut kepercayaan orang Hindu Bali, gunung menjadi tempat bersemayamnya Sang Hyang Siwa (sebutan lain Ida Sang Hyang Widi Wasa). Posisi laut dipertentangkan dengan gunung. Hal-hal yang tidak berguna dalam kehidupan biasanya dibuang ke laut. Implikasinya, bangunan atau ruang-ruang yang dimuliakan berorientasi ke kaja.
Arsitek dari Universitas Udayana, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, dalam Arsitektur Bangunan Suci Hindu, 2008, menyebutkan, gunung sebagai pelambang keluhuran itu terlihat dalam bentuk bangunan suci meru. Menurut mitologi, meru merupakan nama sebuah gunung di Sorgaloka tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung itu lalu diturunkan ke dunia menjadi Himalaya di India, Mahameru di jawa, dan Agung di Bali.
Dalam lontar Andha Bhuana disebutkan, meru berasal dari kata me yang berarti ‘meme atau ibu’, sedangkan ru berarti ‘guru atau bapak’ sehingga meru memiliki arti ‘cikal bakal leluhur’. Meru berarti lambang atau symbol andha bhunana atau alam semesta. “Tingkatan atapnya merupakan symbol tingkatan lapisan alam, yaitu bhunana agung (makrokosmos) dan bhunana alit (mikrokosmos),” tulis Dwijendra.
Meru yang mempunyai makna simbolis dari gunugn juga diuraikan dalam lontar Tantu Pagelaran, Kekawin Dharma Sunia, dan Usana Bali. Dalam hal ini, meru sebagai Dewa Pratista, yaitu berfungsi sebagai tempat pemujaan atau pelinggih dewa. Oleh karena itu, meru secara tata letak berada pada temapt pemujaan di halaman utama (jeroan) dari suatu pura.
Hampir semua pura besar di Bali, seperti Pura Bekasih dan Pura Batur, memiliki bangunan meru dengna ciri atap bertingkat-tingkat menyerupai gunung. Bentuk meru, menurut Dwijendra, juga terlihat pada upacara-upacara ngaben sebagai wadah mayat pada upacara pitra yadnya.
Bahkan, jejak-jejak gunugn sebagai tempat suci yang ditandai dengan adanya bangunan suci dipercaya telah ada di Bali sejak era prasejarah. Arkeolog dari Balai Arkeologi Denpasar, Ngurah Suarbhawa, mengatakan, ritual pemujaan mulai berkembang pada zaman megalitik (batu besar). Gunung dipandang sebaga itempaty yagn suci dan pemberi kesuburan.
Peneliti Balai Arkeologi Denpasar, I Made Geria, juga menduga arca Bathara Datonta di kaldera gunung Batur berciri megalitik. “Sampai sekarang, masyarakat Trunyan memiliki orientasi spiritual kepada Datonta ini,” kata Geria. Di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan pula terdapat batu berdiri.
Arca Datonta merupakan perwujudan dewa tertinggi Trunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat. Arca raksasa ini terbuat dari batu padas setinggi 4 m. Masyarakat Trunyan percaya, cikal bakal merak adalah para leluhur yang  akhirnya bersatu dengan arca Datonta. “Disamping sebaga iarca megalitik, arca Datonta itu jgua dipercaya oleh masyarakat Trunyan sebaga ipendewaan leluhur mereka,” kata Geria.
Di kompleks Pura Puncak Penulisan, pura tertinggi di Bali, juga terdapat sejumlah artefak batu yagn menurut Thomas A Reuter (2002), dibuat sebelum datangnya pengaruh Hindu-India ke Bali.
Batu berdiri yang terbuka menghadap langit di Pura Batu Madeg (kompleks Besakih) dianggap memiliki ciri-ciri megalitik. Hasil kebudayaan zaman megalitikum antara lain bangunan terdiri dari batu bear ,seperti tiang batu berdiri, susunan batu, dan arca batu. Arca-arca peninggalan zaman itu jgua tidak dikerjakan secara detail, sekadar mendapatkan bentuk yang diperlukan.
David J Stuart-Fox (20020 mengungkapkan, batu berdiri yang menjadi nama Pura Batu Madeg ini sekarang dikelilingi bangunan suci paling penting, meru beratap 11 yang didedikasikan untuk I Dewa Batu Madeg yang diidentifikasikan dengan Bhatara Wisnu.
“Ciri megalitik dari salah satu bagunan suci ini menunjukkan keberadaan sebuah tempat suci kuno yang mungkin sudah ada sebelum pengaruh Majapahit (ke Bali),” tulis Stuart-Fox.
Ciri megalitik ini, menurut Stuart-Fox, juga ada di Pura Kiduling Kreteg di Besakih dala mbentuk bangunan bebatuan. Kedua bangunan ini semula merupakan bangunan suci megalitik kecil. Puncaknya yang terbuat dari batu masi htetap digunaka nsegtelah pembangunan kembali. Bangunan tersebut didedikasikan untuk sedahan atau pembantu-pembantu para dewa.
Selain di sekitar Gunung Batur, sebaran tempat pemujaan megalitik di gunung itu banyak ditemukan di Gunung Agung. Gunung tertinggi Bali ini semakin mendapat temapt dalam ritus pemujaan sejak kedatangan Majapahit ke Bali. Kini, sekitar 1.000 pura dibangun mengelilingi gunung ini, dan Pura Besakih menjadi yang terbesar. Hampir semua klan di Bali memiliki pura klan di kaki gunung itu.
Dari gerbang Pura Besakih, kami memulai pendakian ke Gunung Agung pada 30 September 2011. Sepanjang perjalanan, kabut menyelimuti hutal lebat di lereng Gunung Agung. Gerimis yang sesekali turun menambah suasana magis gunung itu. Semalam menginap di salah satu ceruk gunung ini, kami memulai perjalanan menuju puncaknya pada pukul 03.000.
Menapak terbing batu terjal yang masih memperlihatkan aliran lava, kami sampai di puncak tertinggi di Pulau Dewata ini pukul 05.00. semburat sinar mentari mencipta warna jingga di ufuk timur. Menyembul di balik balik awan jingga itu sebuah puncak lain yang terlihat menjulang lebih tinggi: Rinjani.
Masyarakat Pegunungan Penjaga Tradisi
Di Pulau Bali masyarakat pegunungan sering mendapat sebuatan Bali Aga atau Mula. Beberapa desa yang digolongkan sebagai desa Bali Aga, antara lain, Trunyan, Sembiran, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, Tigawasa, dan Tenganan. Istilah Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula mengandung arti Bali asli.
Antropolog James Danandjaja dal mbukunya Kebudayaan Petani Desa Trunyan menuliskan, penduduk pegunungan di Bali sendiri tidak menyukai sebutan Bali Aga. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnyay yang menyebut diri mereka sebagai orang Bali Hindu dan mereka ini merupakan penduduk mayoritas orang Bali.
Orang Trunyan lebih senang disebut orang Bali mua dan leibh suka lagi disebut orang Bali Turunan. Orang Trunyan yang tinggal di dalam kepundan purba Gunung Batur meyakini leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan.
Mereka menganggap diri mereka berbeda dengan Orang Bali Hindu yang mereka panggil dengan sebutan Bali Suku bukan penduduk asli Pulau Bali, melainkan pendatang dari Pulau Jawa yang masuk ke Pulau Bali dengan suku atau kaki, dengan kata lain berjalan kaki.
Orang Bali Aga dianggap sebagai penduduk asli yang memang beragama hindu, tetapi tidak mendapat pengaruh jawa. Pengaruh Majapahit meluas di Bali sekitar abad ke-14.
Mengutip Negarakertagama penulis Pura Besakih; Pura Agama, dan Masyarakat Bali, David J Stuart menuliskan, pasukan Gajah Mada masuk ke Bali tahun 1343. Majapahit pun menanamkan pengaruhnya, termasuk dalam aspek religi.
Patih Gajah Mada didampingi sejumlah bangsawan (arya) Majapahit menguasai pasukan di daerah strategis. Namun, populasi daerah pegunungan di bagian tengah dan timur terus melawan.
James Danandjajasendiri berkesimpulan, kebudayaan di Desa Trunyan juga terkena pengaruh kebudayaan Hindu Bali dan Hindu Jawa Majapahit dari Jawa Timur. Namun, dalam bidang agama, pengaruh dari kedua kebudayaan itu hanya berupa sentuhan kulitnya saja.
Itu dilihat dari dewa-dewa yang diuja di kuil utama Trunyan merupakan leluhur yang telah meninggal yang sudah dihindukan, bukan dewa-dewa Hindu dari India.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Denpasar, Bali, I Made Geria, mengatakan, orientasi spiritual masyarakat Truynan berbeda dengan masyuarakat Hindu Bali dataran. Dalam konsep agama Hindu, dewa yang tertinggi adalah Trimurti, yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa.
“Orientasi spiritual maysarakat yang merupakan penginggalan zaman megalitik dan masi hbertahan sampai sekarang,” ujar Geria.
Thomas A Reuter dal mbukunya Custodians of the Sacred Mountain menyebutkan, bagi orang Hindu yang menganggap diri mereka sebagai orang beradab yang mendapatkan pengaruh kebudayaan Jawa-Majapahit, hal yang tidak berpengaruh kebudayaan Jawa Majapahit dianggap kasar dan tidak beradab. Pandangan demikian meminggirkan orang Bali Aga.
Padahal, dia menuliskan, orang Bali Aga tetap sangat diperlukan, wakil dair Bali “yang lebih tua” lebih asli, dan dalma beberapa hal lebih suci.
Mereka memilih melanjutkan tradisinya di daerah pegunungan dan mempertahankan hubungan dengan nenek moyang.
Namun, menurut Reuter, tradisi Balli Aga tak pernah mengalami kemacetan. Mereka tetap menyediakan ruang bagi pendatang dan pengetahuan baru dari luar.[*/tukang-jalan.com : Kompas, Sabtu, 17 Desember 2011]

Keywords :  Gunung Agung,Gunung Batur,Bali Aga,Bali mule.
 Tags :  Bali Aga,Bali Mule,Danau Batur,Desa Trunyan, Desa Sembiran, Desa Cempaga, Desa Sidetapa, Desa Pedawa, Desa Tigawasa, Desa Tenganan.
Description :   Supervolcano ancaman dari Dalam Bumi.
Excerpt :

#Warga membawa sesaji menuju pura untuk mengikuti upacara penyucian sumber air di kaki Gunung Agung di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa (4/10). Tradisi memberikan sesajen kepada pura yang dekat dengan sumber air bertujungan melindungi para petani dari bencana kekeringan.
#Rumah tua dengan arsitektur asli Bali yang masih tersisa di pinggir Danau Batur di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali, Jumat 97/10). Pola pembangunan rumah masih menganut kepercayaan Bali asli (Bali Mule). Rumah bagian depan berorientasi ke gunung yang tinggi.
#Peninggalan masa megalitik berupa patung batu di depan bangunan utama atau meru suci di Pura Pancering Jagat, Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali, Jumat (7/10). Di dalam meru terpata arca batu yang disakralkan oleh warga desa yang hingga sekarang masih melanjutkan kepercayaan megalitik. Prasasti Trunyan tahun 891 Saka sudah menyebutkan keberadaan peninggalan ini.

Comments

Popular Posts