Terbuai Kesyahduan Hutan Korowai

 


Kami bermukim dalam padatnya hutan hujan tropis di pedalaman Papua empat hari lamanya. Siang berganti malam, hari berganti hari tanpa tergesa. Mungkin hutan benar benar menelan konsepsi jarak dan waktu. Selama Datang di Hutan Korowai. Korowai dikenal dunia karena keunikan rumah pohonnya.Meski kerap dianggap primitifm suku korowai adalah satu satunya suku yang mempunyai kemampuan membangun rumah di atas pohon dengan ketinggian berkisar 4 meter - 6 meter. Setidaknya ada 60 judul film yang dibuat berdasarkan kebudayaan suku ini.

Berdasarkan wilayah ulayatnya, Korowai tersebar di empat Kabupaten di Papua, yaitu Kabupaten Boeven Digul, Mappi, Asmat, dan Pegununungan Bintang. Perjalanan dari Jakarta ke Korowai membutuhkan waktu setidaknya tiga hari, bahkan bisa lebih karena tergantung opersional pesawat perintis.

Penerbangan awal dari Jakarta menuju Jayapura ditempuh sekitar 8 jam. Menginap semalama di Jayapura, kemudian terbang lagi menuju Tanah Merah, Kabupaten Boven Digul. Waktu penerbangan Jayapura-Tanah Merah sekitar 1 jam.

Tiba di Tanah Merah, perjalanan ke Korowai belum tentu bisa dilanjutkan. Jadwal Pesawat Perintis berkapasitas 13 penumpang hanya tersedia satu kali perjalanan pulang pergi setiap Senin, Rabu, dan Jumat.  Tidak ada sistem pembelian tiket daring . Semua calon penumpang harus antri, siapa cepat dia dapat!,

Pesawat menjadi satu-satunya moda transportasi tercepat menuju pintu masuk Korowai, yakni Kampung Danuwage, Distrik Yaniruma. Boven Digoel. Waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 45 menit penerbangan. Sebenarny, kami bisa saja menempuh jalur laut menggunakan perahu kayu atau ketinting, tetapi waktu tempuhnya bisa berhari-hari.

Penerbangan dari Tanah Merah ke Danwage menyuguhkan pemandangan alam yang memukau. Karena pesawat terbang dengan ketinggian rendah, penumpah bisa melihat bentang hutan lebat dipisahkan sungai yang meliuk-liuk. Langit dan hutan seolah tak bersekat saking luasnya. Jadi, jangan sampai tertidur.

Petualanganbaru dimulai ketika mendarat di Bandara Korowai Batu, Kampung Danuwage, Boven Digoel. Siyal telepon dan internet belum masuk Yanuruma dan seluruh distrik di Korowai.

Karena itu, pendatang disarankan membuat janji terlebih dahulu dengna penduduk lokal atau memakai jasa agen pariwisata. Jika tidak, bersiaplah mendapat penolakan warga lokal dan kembali ke Tanah Merah.

Tiba di lapangan terbang Korowai Batu pada Maret 2020, kami dijemput dua pemuda asli Korowai. Opi Dayo (25) dan Damai Sayat (25). Mereka akan mengantar menuju loksi bermukin di pedalalam kampung Zanax. Wakt utempuh dari bandara ke Xanax sekitar 5 jam dengan berperahu dan berjalan kaki.

Setelah melihat dari ketinggian, kini saatnyamengamati Korowai lebih dkeat dengan ketinting-istilah lokal untuk perahu kayu motor. Ketinting akan menyusuri Sungai Desiram yang meliuk-meliuk selama sekitar 3 jam. Sepanjang perjalanan terlihat beberapa khaim atau rumah pohon kyang dibangun di pinggiran sungai.

Di Kampung Xanax, kami beristirahat sejenak sembari bercengkerama dengan warga. suku Korowai mengenal dua lokasi bermukim, yaitu kampung yang dibentuk oleh pemerintah dan dusun ataku tmepat tinggal asli dalam hutan. Dari kampung menuju dusun harus berjalan kaki sekitar 2 jam.

Rumah Pohon

Tak terasa malam mulai menyelimuti hutan. Setelah menempuh perjalanan udara, air, dan darat, kami tiba di bivaksekitar pukul 17.58 WIT. Bivak berukuran sekitar 3 m x 8 m itu dibnagun dengna kerangka kayu, serta memiliki atap dan dinding dari anyaman daun sagu. Bivak biasanya dibnagun sementar untuk tempat menginap peneliti ataupun turis.

Rhidian Yasminta Wasaraka, peneliti dan penulis buku perempuan Perkasa: Belajar Praktik Kesetaraan dalam Budaya Suku Korowai, menuturkan, suku Korowai membangun beberapa jenis rumah, tidak hanya rumah pohon. rumah lainnya ialah rumah tinggi atau k.ahim dhuof, rumah melahirkan, rumah haid, rumah orang sakit, dan rumah pesta.

"Keunikan suku Korowai yang paling dikenal dunia memang rumah pohon karena benar-benar dibangundi atas pohon hidup," ujar Rhidian. Rumah pohon disebut juga sebagai rumah tinggal yang dihuni oleh keluarga inti. Rumah dibangun di atas batang pohon dengan ketinggian 4 m dari permukaan tanah. Rumah pohon umumnya berusia 2-3 tahun yang lokasinya berjauhan antara satu dan lainnya. Jika rumah rusak, keluarga akan pindah dan membangun rumah baru.

Keunikan rumah pohon ini mencuri pehatian banyak media internasional dan peneliti asing. Selain untuk


tempat tinggal, suku Korowai juga membangun rumah tinggi untuk pemuda bersantai. Rumah tinggi memiliki ketinggian belasan meter dari pemukaan tanah. Banyan pihak, salah mengartikan rumah tinggi ini sebagai tumah tinggal.

Menurut Ndahi Dayo, tetua adat suku Korowai, rumah pohon dibnagun tinggi untuk menghihdari gigitan nyamuk an gangguan roh jahat (laloe), Karakteristik Suku Korowai juga senang menikmati ketinggian, yang sekaligus dimanfaatkan untuk memantau keadaan sekitar jika ada serangan musuh dan ancaman predator.

Uniknya, rumah pohon atau rumah tinggal mencerminkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Di rumah pohon, laki=laki dan perempuansejajar mencerminkan relasi yan setara dalam perkawinan, mulai dari urusan ekonomi sampai pengasuhan anak.

Kebudayaan membangun rumah pohon diwariskan secara turun-temurundari nenek moyang, Salah atku kebudayaan suku Korowai yang terekspos di dunia ialah kanibalisme. Mereka kan membunuh dan memakan jasad manusia yang diyakini memiliki ilmu sihir dan membawa malapetaka. Kepercayaan memakan manusia agar roh jahat lenyap dan tidak berkeliaran. "Kebiasaan memakan manusia sudah lama kami tidak lakukan lagi," ujar Ndahi.

Berkeliling hutan Hitan adalah sumber penghidupan .Bagi suku Korowai, kelaparan tiak akan terjadi sepanjang mereka menjaga hutan dengna baik. Setiap hari, kami diajak jalan berkilo-kilometer menyusuri hutan untuk mencari makanan, mulai dari menokok sagu, mencari ulat sagu, berburu ikan dan udang, hinggamencari obat-obatan.

Semua bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari terseida di hutan. Tak perlu bekerja larut untuk mendapat uang karena hutan menyediakan secara gratis. Manusai tinggal berusahan mencari dan menjaga kelestarian hutan. Hal itu yang menyebabkan suku Korowai betah tinggal di dusun ketimban di kampung.


Selain satu hasil hutan Korowai yang menjadi  daya tarik turis asing ialah ulat sagu. Pesta ulat sagu kerap diselenggarakan jika ada perayaan penting kaln atau penyambutan turis. Ratusan bahkan bahkan ribuan ulat sagu dibakar dalam batu bersama sagu. Pesta ulat sagu menjadi bermakan karena melibatkan warga satu dusun dan tiga hari persiapan..

Suku Korowai umumnya banyak mengenal waktu dalam konsep pagi, siang, dan malam. Mereka tak hafal dengan tahun, apalagi tanggal dan bulan. Bahkan, mereka tidak ambil pusing dengan angka-angka usia hidup. Tanpa harus berpacu dengna waktu, mereka begitu menikmati hidup yang mreka jalani..

Wajar saja, jika menetap dengan masyarakat Korowai selama empat hari benar-benar tak terasa. Kami begitu terlena dengna kesyahduan hutan dan kearifan suku Korowai dalam menjalani keseharian. Bekerja bagi suku Korowai bukan tunuk mengumpulkan uang, melainkan menjaga keberlangsuangan hidup dan berkelanjutan hutna.

Comments

Popular Posts