NUSANTARA| PESONA NUSANTARA
Wae
Rebo, Negeri Tersembunyi di Flores
tukang-jalan.com® – WAE REBO adalah kampung adat satu-satunya
yang tersisa di Manggarai, NTT. Kampung ini mempunyai tujuh rumah adat atau mbaru niang yang masih ditinggali oelh warganya. Untuk menuju kampung
ini, pengunjung harus berkendara delapan jam dari Labuan Bajo dan mendaki gunung sejauh 4 km
menembus hutan alam.
Sebanyak 33 keluarga turun temurun
hidup di kampung kecil itu dan tinggal di mbaru niang yang dibnagun kake buyut
mereka. Konon leluhur mereka berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Kepala
kerbau dalam rumah adat adalah salah satu penandanya.
Martinus Anggo (46), salah satu
tokoh warga Wae Rebo, mengatakan tak pernah tahu kapan pastinya leluhur mereka
tinggal di tempat itu. Ia hanya tahu dirinya adalah generasi ke-19 dari nenek
moyangnya. Kampung itu bisa bertahan karena ada warga yang memilih hidup di
sana meski terpencil. Warga bepegang teguh dapda pesan leluhur yang meminta
mereka tinggal di sana.
Seperti halnya perkampungan adal
tain yang tergerus perubahan, pada 2007 perkampunga ini hampir saja runtuh. Mbaru niang ambruk karena termakan usia.
Beberapa anak muda memilih mengadu nasi di kota. Sementar penerus Wae Rebo yang
tersisa tidak mampu membangun kembali mbaru niang karena biayanya tinggi.
Akhirnya, mbaru niang bisa berditi lagi setelah dibantu oleh banyak tangan.
Bersama dengan sejumlah pihak, termasuk arsitek Yori Antar, warga mendirikan
lagi rumah adat yang hampir roboh.
Titik balik
Revitalisasi mbaru niang membuahkan penghargaan UNESCO pada 2012. Sejak itu, Wae
Rebo , Wae Rebo masuk dalam peta wisata dunia. Juni lalu, saat liburan musim
panas di belahan bumi utar tiba, Wae Rebo banjir wisatawan. Secara bergantian
warga turun gunung membawa hasil bumi utnuk dijula di pasar dan pulang untuk
kulakan beras dan berkotak-kotak terlur ayam untuk keperluan memasak hidangan
bagi wisatawan.
Termasyhurnya Wae Rebo mengubah
hidup dan nasib warganya. Dahulu, warga Wae Rebo hidup terbelakang. Mereka
hanya makan apa yang mereka dapatkan dari kebun dan hutan. Kini kemampuan
ekonomi mereka bertambah, dari Rp 600.000 menjadi Rp 3 juta setahun. Sejumlah
anak muda kini fasih berbahasa asing dan banyak yang menimba ilmu di perguruan
tinggi.
Kopi hutan Wae Rebo pun naik daun. Biji kopi yang
dahulu hanya dihargai Rp 25.000 per kg di pasar, kini menjadi Rp 48.000-Rp
50.000 per kg. Eksotisme Wae Rebo menarik para pemilik kedai kopi dari Jakarta untuk datang ke kampung itu.
Meski membawa perbaikan ekonomi,
perubahan yang bergitu cepat membuat sesepuh Wae Rebo khawatir. Harga kopi Wae
Rebo yang melambung, misalnya, tak akan lagi bisa dijangkau warga desa sekitar.
Perbedaan latar belakang sosial
antara warga dan wisatawan pun rawan jadi persoalan. “Saya sering ditegur
sesepuh karena ada saja wisatawan berbaju terlalu terbuka. Sebenarnya saya
sudah berpesan agar memakai baju kaus, tetapi kadang baju kaus mereka tertutup
di muka bolong di belakang, cerita Martinus.
Para sesepuh Wae Rebo pun memberika
nbtasa dan aturan. Di Wae Rebo, anak-anak tidak dibiasakan menerima pemberian
dari tamu. Jika ada hadiah, seespuh yang akan membagikannya agar nanti tak timbul sifat meminta kepada
tamu.
Segala sesuatu pun dibicarakan
secara kekeluargaan. Juni lalu, misalnya, seusai menjamu tamu, para
sesepuh desa mengadakan pertemuan
mendadak untuk membahas Kartu Indonesia Pintar yagn baru sampai ke kampung
mereka. Tidak semua anak usai sekolah emndapatkan kartu tersebut. Agar tidak
menimbulkan masalah, akhirnya sesepuh memutuskan untuk bertanya ke perangkat
desa tentang nasib anak yang tak mendapat kartu dan mehanan sementara kartu
yang ada.
Warga Wae Rebo dan warga desa
sekitarnya juga mempunyai cara tersendiri untu kbisa menyekolahkan anaknya
hingga perguruan tinggi. Menyadari pendapatan mereka yang kecil, warga
mengadakan acara amal untuk membiayai anak mereka yang kuliah. Di acara amal
ini, tuan rumah akan memotong ternak untuk jamuan para tamu. Tamu yang juga
tetangga dan tetangga desa mereak akan datang dan menyumbang semampunya sebagai
bentuk kepedulian pendidikan sang anak.
“Dari cara ini, warga bisa
mengumpulkan uang sampai Rp 15 juta untuk membiayai sekolah anak bahkan ada
yang beruntung mendapatkan Rp 25 juta. Cara ini dilakukan bergilir. Nantai saat
anak saya sudah masuk usia kuliah, giliran saya menjamu para tamu,” kata Yosef
Katup, sesepuh Wae Rebo.
Keterpencilan
Keterpencilan menjadi kekuatan
sekaligus persoalan di Wae Rebo. Untuk mengakses fasilias kesehatan, misalnya,
warga harus turun gunung ke kampung terdekat, Denge, Selis, ibu dari lima anak
yang tinggal di Wae Rebo, pernah merasakan melahirkan di hutan karena tak
sempat sampai di pelayanan kesehatan terdekat.
Namun, hal itu menjadi sangat lumrah
bagi Selis dan warga lainnya. “Kami dibekali temulawak sebagai obat alami. Obat
ini dikunyak dan kami bawa ke mana-mana untuk mengantisipasi jika bayi kami
lahir juah dari pusat pengobatan,” katanya.
Demi pendidikan, warga Wae Rebo
harus berpisah dengan anak-anak mereka sejak usia sekolah. Anak-anak terpaksa
tinggal di Denge yang mempunyai fasilitas sekolah dasar. Setia pakhir pekan,
mereka akan kembali ke Wae Rebo, berkumpul dengan keluarganya.
Pemerintah Kabupaten Manggarai pada
2015 mulai membuka sekat isolasi dengan membangun fasilitas kesehatan di Wae
Rebo. Sayangnya, fasilitas kesehatan itu rusak sebelum dipakai.
Bupati Manggarai menjanjikan akan
mengecek kembali fasilitas kesehatan yang pernah dibangun pemkab. Soal sekolah,
ia pun bernjani mendekatkan sekolah dengan anak-anak agar mereka bisa belajar
dengan tenang dan nyaman. [*/tukang-jalan.com®
Sumber : KOMPAS, JUMAT, 4 NOVEMBER 2016|Oleh : M CLARA WRESTI dan SIWI YUNITA C]
Baca juga :
Keywords : Wae Rebo,Mbaru
Niang,rumah adat.
Tags : Manggarai,NTT.
Description : Wae Rebo seperti negeri berpagar gunung.
Tersembunyi di balik keramaian dunia. Di pagi hari, kampung ini tampak seperti
negeri dongeng berselimut kabut. Di malam hari, gugusan bintang galaksi bimasakti
terlihat saat langit tak berawan. Dengan kearifan lokalnya, warga Wae Rebo bisa
berjalan dengan laju pariwisata.
Comments
Post a Comment