EKSPEDISI CINCIN API |LETUSAN
Tukang-Jalan.com®
- LETUSAN dahsyat Gunung Agung yang berlangsung dua kali dalam satu
periode letusan itu, menruut pendataan Kusumadiata, telah merenggut 1.148
korban jiwa dan 296 luka-luka. Bahkan, dalam laporan yang dibuat Kepala Bagian
Vulkanologi Direktorat Geologi Djajadi Hadikusumo ke UNESCO, letusan itu telha
menewaskan 1.549 orang. Sekitar 1.700 rumah hancur, sekitar 25.000j iwa
kehilangan mata pencaharian, dan sekitar 100.000 jiwa harus dievakuasi dari
zona bahaya.
Dampak susulan berupa banjir lahar
kemudian menghancurkan perkampungan di lereng selatan Gunung Agung dan
menewaskan 200 orang. Delapan jembatan hancur. Karangasem terisolasi total.
Pasokan bahan pangan dan obat-obatan terpaksa dilakukan melalui laut.
Tak hanya karangasem, bencana itu
juga memukul seluruh Pulau Bali. Sebanyak 316.528 ton produksi pangan hancur. Bencana itu
diperparah dengan gempa bumi yang melanda Bali pada 18 Mei 1963, lalu Gunung
Batur pun meletus pada September 1963 hingga Mei 1964.
Geoffrey Robinson dari Universitas
Cornell Ithaca, New York, dalam The Dark Side of Bali (19920, menulis, wabah penyakit
sampar tau pes yang mendera Bali pada 1960 semakin memperparah situasi. Bencan
yang sambung menyambung dan kemiskinan yang semakin mencekik itu diikuti
pergolakan politik.
Barisan Tani Indonesia, organisasi
di bawah paying PKI yang sedang memperjuangkan reformasi agrarian, mendapat
sambutan luas di kalangan masyarakat Bali yang disesaki penderitaan. Gerakan
itu akhirnya berujung pada pembantaian massal yang menewaskan 80.000 jiwa atau
sekitar 5% penduduk Bali dalam ontra-ontran politik pada tahun 1965. Bali
berada di titik nadir.
Di tengah kehancuran dan kekacauan,
warga di lereng Gunung Agung kembali ke desanya. Hanya setahun desa-desa itu
dikosongkan. Kuburan massal korban letusan di Badeg Dukuh dibongkar dan warga
yang selamat kemudian menggelar upacara besar sebelum emngubur kembali jasad
korban. Upacara itu juga menandai kembalinya warga dari pengungsian ke Badeg
Dukuh yang sebelumnya luluh lantak diterjang awan panas.
“saya kembali ke Badeg Dukuh karena
di sinilah asal saya,” ujar Sudana. Tak semau korban selamat kembal ike Badeg
Dukuh dan Sogra. “Ada juga keluarga saya yang hingga saat ini tidak mau
kembali, mereka sekarang tinggal di Buleleng,” kata Sudana. Namun, mayoritas
warga ekmbal ike desa merka dan menata kembali kehidupan di atas puing-puing
kehancuran.
Awal Oktober 2011. Beberapa saksi
mata masih hidup. Namun, jejak petaka 48 tahun silam itu nyaris tak teliaht.
Letusan yang dulu dianggap murka dewa-dewa kini dipandang sebagai anugrah. Batu
dan pasair yang dimuntahkan oleh letusan menjadi penyangga utama pembangunan
hotel, resoran, dan vila-vila yang menopang pariswisata Pulau Bali. Abu
Vulkanik yang pernah menyelimuti naris seluruh pulau ini juga disyukuri sebagai
penyubur alami.
Warga di lereng Gunung Agung,
seperti Sogra dan Badeg Dukuh, seolah tak pernah mengalami petaka yang
menewaskan ratusa nleluhur mereka. Anak-anak muda hanya mengerti kisah itu
samar-samar.
“Masyarakat di sini meyakini gunung
akan meletus kalau kawahnya sudah penuh,” ujar Ni Wayang Trisnawati (26), anak
Mangku Turut. Namun, ia tidak bisa mendeskripsikan material sepeti apa yang
mengisi kawah dan bencana yang akan terjadi jika isi kawah itu luber.
Warga Sogra juga tidak memiliki
system pemantau mandiri terhadapa aktivitas gunung Agung. Bahkan, banya kwarga
yang tidak mengetahui lokasi pos pengamatan Gunung Agung di Desa Rendang
,sekitar 8 km dari Sogra. Mereka bahkan kurang peduli dnengakeigatan pemantauan
gunung api,” ujar Trisna setelah bertanay kepada tiga saudaranya.
Mangku Raja, Kepala Desa Badeg
Dukuh, juga tidak mengetahui pos pemantauan Gunung Agung. Seperti lelhuurnya,
mereka lebih menumpukan proses mitigasi melalui ritual doa. “Usaha untuk
menangkal bahaya letusan gunung api dilakukan melalui upacara di Pura Pasar
Agung,” katanya.
Pura ini ;aling dekat dengan kawah
Gunung Agung, sekitar 4 km. Pura Pasar Agung terkubur material vulkanik saat
erupsi 1963. Fondasi pura ditemukan melalui penggalian 15 tahun lalu dan
dibangun kembali, lebih besar dibandingkan sebelumnya.
“Setiap purnama kelima, masyarakat
di sekitar Gunung Agung mengadakan upacara supaya Gunung Agung ini tidak
meletus lagi,” ujar Mangku Raja.
Penyucian Agung, Konservasi Berbalut
Budaya
Masyarakat Bali kuno dikenal sebagai
masyarakat agraris dengan kultur spiritual yang kuat. Tanpa menyebutnya dnegnan
konservasi, sumber-sumber air disucikan utnuk melindung para petani dari
bencana kekeringan.
Sejak zaman raja-raja berkuasa di
Bali, penyucian dilakuka ndi hampir semua kawasan vital bagi para petani,
seperti gunung, danau, dan hutan .kawasan itu sangat penting bagi
berlangsungnya tradisi agraris masyarakat Bali.
Gunung-gunung yang membentang di
tengah-tengah Pulau Bali mulai dari barat hingga timur adalah kawsan vitgal
bagi pertanian Bali. Di bentangan gunung itu, rakyat dan raja-raja di Bali
mendirikan pura hingga jumlahnya tak kurang dar 1.000 bangunan, baik pura keicl
maupun pura besar.
Gunung Agung adalah gunung terbesar
di Bali yagn sangat disucikan penduduknya. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya
pura terbesar di Bali, Pura Besakih di Kecamatan Rendang, dan beberapa pura
besar lainnya, seperti Psar Agung di Kecamatan Selat. Gunung Agung adalah
sumber air terbesar bagi masyarakat petani zaman dulu.
Antropolog Universitas Udayana, Ida
Bagus Gede Puja Astawa, mengatakan ,pada zaman raja-raja, mereak tak pernah
menyebut kegiatan penyucian sebagai
kegiatan konservasil “Rasionalitas konservasi itu dibalut dalam selubung buyda.
Mereka hanay menyebutkan patnagnan untuk tidak merusak dan mengganggu kelangsungan
ekosistem di gunung,” kata Astawa.
Pada zaman raja-raja itu pulalah,
berkembang konsepsi spiritual mengenai Gunung Agung yang menyebutkan bahwa
gunung tak ubahnya seperti kepala manusia. Dalam penghayatan masyarakat Bali
kuni, kepala adalah organ tubuh yang palign suci kerena merupakan baigan tubuh
yang palign penting. Gunung harus dihormati seperti layaknya menghomrati dan
menyucikan kepala.
“Konsepsinya sederhana, kalau kepala
rusak, semua tubuh manusia tidak akan berfungsi baik. Demikian pula dengn
gunung, yang kalau dirusak akan menimbulkan bencana bagi masyarakat Bali ketika
itu, yaitu masyarakat petani. Bencana
bagi masyarakat petani kala itu yang paling ditakuti adalah kekeringan,” kata
Puja Astawa.
Masyarakat Bali memiliki pandangan
bahwa hidup kita kan tenang kalau kepala kita dijaga dengan baik. “Kepala
sangat dihargai, sangat dihormati. Kala ukapal pusing, akan pengaruhi hidup
kita. Kalau Gunung Agung itu
dieksploitasi ,sama dengan mengobok-obok kepalanya Pulau Bali. Itula hkenap ada
pura besar dan banyak pura kecil lain di Gunung Agung. Itu adalah cara
masyarakat Bali kuno menghormati dan melindungi Gunung Agung,” kata Puja
Astawa.
Sampai sekarang, di Bali masih
berkembang tradisi bagi para petani untuk memberikan sesajen ke pura di sekitar
sumber air bagi lahan pertaniannya. Seperti petani Gianyar dan Denpasar, pada
saat-saat tertentu, masih memberikan sesajen di sejumlah pura di sekitar sumber
air di Gunung Agung.
Konsep penyucian alam yang menjadi
tempat hidup maysarakat Bali bahkan diperkirakan suda ada sejak zaman
megalitikum. Peneliti Balai Arkeologi Denpasar, I Mader Geria, mengatakan,
masyarakat Trunyan memiliki orientasi spiritual kepada Bathara Datonta yang
merupakan arca dari zaman megalitikum. “Dari konsep orientasi spiritual mereka,
mereak sudah mengenal penyucian ala myang dianggap sebagau buana agung karean
akan memberikan bekah dan rahmat kepada manusia sebagau buana alit,” kata
Geria.
Bandesa Adat Desa Sebudi, Kecamatan
Selat, Kabupaten Karangasem Mangku Gede Umbara, mengatakan, masyarakat sangat
menghormati Gunung Agung karena merasa sebagai pusat kehidupan yang harus
disucikan. “Masyarakat menghormati Gunung Agung yang telah memberi air. Tidak
banyak yang tahu bahawa cara menghormati Gunung Agung itu adalah cara menjaga air
yang sejak dulu diwariskan nenek moyang kami,” kata Umbara. [*/tukang-jalan.com : Kompas, Sabtu, 17 Desember 2011]
Keywords :
Gunung Agung,Gunung Batur,
Tags :
Supervolcano.
Description
: Supervolcano ancaman dari
Dalam Bumi.
Excerpt :
#Warga membawa sesaji menuju
pura untuk mengikuti upacara penyucian sumber air di kaki Gunung Agung di
Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa (4/10). Tradisi
memberikan sesajen kepada pura yang dekat dengan sumber air bertujungan
melindungi para petani dari bencana kekeringan.
Comments
Post a Comment