EKSPEDISI CINCIN API |KRAKATAU-JEJAK LETUSAN Dulu dan Sekarang
Tukang-Jalan.com®
- MAMAD SALWA (57) adalah warga Caringin di Kecamatan Labuan,
Kabupaten Pandeglang, Banten. Dia generasi ke empat saksi mata letusan Krakatau
pada 27 Agustus 1883. Mamad masih memelihara ingatan petaka Krakatau yang
dikisahkan orangtuanya secara turun-temurun. “Hari itu, Jumat, 23 Syawal tahun
1300 Hijriah. Setelah bunyi letusan yang sangat keras, api menyembur dari arah
Krakatau di tengah laut. Lalu langit tiba-tiba menjadi gelap,” kisahnya.
Laut pun surut. Ikan menggelepar di
pantai. “Kakek buyut saya segera lari karena ketakutan. Tetapi, banyak warga
desa lainnya yang justru ke laut mengambil ikan. Merekalah yang kemudian
menjadi korban,” kata Mamad.
Saat sebagian besar warga sibuk
mengambil ikan di pantai atau sekadar terperangah melihat keajaiban itu, ari
laut tiba-tiba datang menerjang. Gelombang tsunami menghantam, menewaskan
nyaris seluruh warga desa. “Kakek buyut kami selamat, tetapi saudara dan
tetangganya kebanyakan tewas. Total warga Labuan yang tewas disebutkan 7.000
orang.” Katanya.
Tiap tahun Mamad dan beberapa warga
lainnya menggelar haul, semacam doa bersama untuk mendoakan leluhur mereka yang
menjadi korban. “Kami diberi amanat oleh orangtua agar setiap tahu nmenggelar
haul ini,” kata dia.
Tahun ini, haul kembali diperingati.
Namun, hanya sekitar 30 orang yang datang. Pengeras suara sudah berkali-kali
memanggil warga agar datang ke Masjid Besar Labuan, tempat doa bersama akan
digelar. Namun, sebagian besar warga tak acuh.
“Acara itu Cuma begitu-begitu saja
dan sudah sering dilakukan,” kata Nuril (24) yang memilih menjaga warung
kelontongnya, sekitar 20 m dari Masjid Labuan. Dari warungnya, suara doa
bersama itu jelas terdengar.
Mamad Salwa resah dengan semakin
sedikitnya warga yang datang ke haul. “Terutama anak-anak muda, mereka tidak
mengerti dan tidak peduli dengan riwayat tanah ini.” Kata dia. Padahal, menurut
Mamad, peringatan ini sebenarnya bukan sekadar mendoakan leluhur. Mereka
sekaligus merawat ingatan dan mendorong warga agar terus waspada bahwa tetangga
mereka, Gunung Krakatau, bisa sewaktu-waktu kembali mengirim bala bencana.
Ingatan manusia memang terlalu
pendek, apalagi bila dibandingkan periode letusan besar gunung api yang bisa
ratusan tahun hignga ribuan tahun. Ketika Anak Krakatau tengah membangun
kekuatan sebagaimana leluhurnya, ingatan warga terhadap petaka yang diakibatkan
letusan Gunung Krakatau justru semakin pudar.
Warga kembali memadati kawasan yang
pernah dihancurkan tsunami dan dihanguskan awan panas akbiat letusan Krakatau
pada 1883, nyaris tanpa persiapan memadai. Tsunami yang berpotensi kembal
iterjadi hanya dibentengi bukit-bukit yang dikeruk, tanggul yang rapuh, jalur
evakuasi yang tumpang tindih dengan pipa gas rawan meledak, serta pengetahuan
tentang mitigasi bencana yang minim.
Di Desa Teluk, Kecamatan Labuan,
rumah-rumah nelayan rapat berjajar di pinggir pantai. Penghuninya, kebanyakan
berasal dari Cirebon, Brebes, dan sejumlah daerah di Jatim. Tsunami setinggi 15
m yang melanda kawasan ini lebih dari 200 tahun lalu tak terliaht lagi
jejaknya, selai nbatu karang mati yang teronggok di pantai. Saat tsunami
melanda kawasan ini, batu karang itu terbongkar dari dasar laut dan terbawa
hingga juah ke daratan. Sebagian batu karang itu kini dibongkar dan diratakan
untuk fondasi rumah.
“Dulu pantai ini berlubang-lubang
penuh batu karang. Malah ada kampung lama yang setelah tsunami tenggelam di
tengah laut. Orang-orang menyebutnya Karang Kabua. Tmepat itu katanya dulu
nyambung dengna pantai ini,” ujar Agus (46), warga Desa Teluk.
Agus merupakan generasi kedua.
Keluarganya berasal dari Jateng yang datang ke Desa Teluk ahir tahun 1950-an.
“Orang di sini semuanya pendatang. Leluhur kami meratakan pantai yangpenuh
karang dan membangun rumah di atasnya,” ujarnya.
Setelah letusan Krakatau, kawasan
pesisir di sepanjang Labuan menjadi lahan kosong tak berpenghuni. Orang alsi
yang selamat dari bencana itu takut untuk tinggal kembali di tepi pantai.
“Kalau pendatang seperti kami, tidak tahu pas meletusnya, jadi kami tidak takut
tinggal di sana,” kata Agus. Krakatau bagi para pendatang justru memberinya
rezeki lantaran banyaknya turis yang ingin berkunjung ke sana dan menyewa
perahu mereka.
Sama seperti Labuan, Pulau Sebesi,
yang seluruh penduduk aslinya tewas tersapu tsunami akibat letusan Krakatau
1883, juga kembali dipenuhi warga pendatang. Kepala Desa Tejang, Sebesi,
Syahroni (45), bercerita, seluruh warga Pulau Sebesi merupakan pendatang dari Banten, Lampung, Kalimantan,
hingga NTB. Mereka juga mulai menghuni Sebesi sekitar tahun 1950.
Tidak adanya sambungan memori warga
dengan Krakatau agaknya juga menyebabkan warga Sebesi tidak memiliki trauma dan
ketakutan terhadap Anak Krakatau. Padahal, dari pulau itu, Anak Krakatau
terlihat sangat dekat. Nyaris setiap Anak Krakatau meletus, abunya menutup
seluruh genteng warga.
Tanah yang subur dan laut yang kaya
ikan membuat warga abai dengan risiko letusan Anak Krakatau. Sebaliknya,
kiriman Abu Krakatau justru disyukuri sebagai berkah karena menyuburkan kebun
kakao, pisang, dan kopra.
Tiadanya kepedulian terhadap risiko
Anak Krakatau juga terlihat di Teluk Betung, Lampung, Gunung Kunyit, benteng
alam yang melindungi warga Teluk Betung saat tsunami melanda kawasan ini tahun
1883, kini nyaris musnah karena ditambang.
Penambangan liar yang tidak
terkendali selama puluhan tahun menyebabkan bukti yang dulu menjorok 120 m ke
laut berubah menjadi teluk. “Kalau tidak ada Gunung Kunyit, bisa jadi tempat
kami tinggal ini hancru disapu tsunami saat itu (letusan Krakatau 1883),” kata
Sapami (39), warga Teluk Betung Selatan.
Kini, sepanjang kawasan pesisir
Teluk Lampung yang pernah dihantam tsunami hingga ketinggian 30 m ini telah
disulap menjadi permukiman padat dan kawasan industry. Dari 1,2 juta jiwas
penduduk Bandar Lampung, 10% di antaranya tinggal di kawasan pesisir ini.
Di kawasan industry Cilegon, Banten,
bukit-bukit yang menjadi tumpuan evakuasi jika tsunami terjadi juga ditambang,
misalnya terjadi di Cikuasa Atas, Proyek penyebaran 40.000 pamflet berisi
kiat-kiat penyelamatan dari bencana tsunami tak mempan menghadapi cangkul para
petambang yang lapar.
Sejak tahun 2007, Pemkot Cilegon
melalui pusat krisis-yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan-mulai
menyosialisasikan kiat penyelamatan dari bencana industry, gempa, dan tsunami.
Selain menyebar pamphlet, mereka juga menyimpan 15 lokasi evakuasi dan memasang
jalur-jalurnya.
Tak semua warga paham dengan taktik
mitigasi yang lebih mengandalkan penyebaran pamphlet dan papan pengumuman ini.
“Orang pasang plang tsunami seperti buang air. Habi pasang kabur. Apa maksudnya
tidak pernah dijelaskan ke warga,” kata Yayat (37), warga Citeureup, Kecamatan
Panimbang.
Sementar sebagian jalur evakuasi di
Cilegon ternyata berada di atas pipa gas yang gampang meledak. Persis di depan
menara sirine peringatan tsunami yang dibangun dijalur itu, sebuah papan
peringatan lain menyebutkan, “Perhatian! Sepanjang jalur ini tertanam pipa gas
tekanan tinggi.”
Kota yang pernah dilanda tsunami ini
juga menjadi pusat industry dan sebagian adalah industry kimia gampang
terbakar. “Kami lebih takut pabrik kimia meledak daripada letusan Gunung
Krakatau,” kata Syaiful (30) warga Kampung Kopo Kidul, cilegon.
Kebakaran pabrik kimia di kawasan
industry itu memang kerap terjadi sehingga sebar menghantui ingatan warga.
Misalnya, pada Februari 2009, ledakan
terjadi di salah satu tangki di sebuah pabrik pengolahan zat kimia di kawasan
industry Ciwandan yang mengakibatkan lima pekerja terluka. Awal Februari 2011,
kembal iwarga Cilegon dikejutkan dengan ledakan pabrik kimia di kawasan
industry Ciwandan.
Pemilihan Cilegon sebagai industry
lebih karena kecelakaan sejarah. Kota-kota di Indonesia dibangun tanpa
memperhitungkan ancaman gempa, tsunami, dan letusan gunung api. “Belum ada kota
yang memperhatikan aspek bencana alam, seperti gempa dan tsunamai dalam
pembangunannya,” kata Danny Hilman, ahli gempa dari LIPI. Padahal, jejak petaka
yang diakibatkan Krakatau jelas terbaca dan Anak Krakatau kini tengah membangun
kekuatannya. [*/tukang-jalan.com dari KOMPAS, |OLEH : AHAMD ARIF,INDIRA
PERMANASARI, YULIVINUS HARJONO,C ANTO SAPTOWALYONO]
Baca juga :
Krakatau menyingkap rahasia kehidupan bisa juga disaksikan melaui audio visual
dengan judul Krakatau, krakatu reveal (BBC) dan Journey from the center of the
earth. Jejak ekspedisi melalui foto 360 derajat ‘virtual reality’ di www.cincinapi.com. Ekspedisi cincin api Krakatau
menyingkap kehidupan bisa diunduh melalui App Store. Lihat juga video nya
“Krakatau Purba dan Letusannya” di vod.kompas.com/krakataupurba dan sebagai
selingan bisa unduh article : pulang ke rumah
desa
Keywords :
Krakatau,Anak Krakatau
Tags :
Anak Krakatau,krakatu,Supervolcano.
Description
: 15 Agustus 2011, Langit cerah
tanpa awan. Matahari terasa dekat, teriknya memanggang. Puncak Anak Krakatau
menyemburkan asap tipis, delapan puluh meter dari jangkauan. Batua nlepas
berguguran saat diinjak dan udara bertuba menyesakkan napas.
Excerpt : DI balik kedahsyatan letusannya, Krakatau mengajarkan tentang
kekuatan daya hidup. Sedemikian dahsyat daya hancur gunung ini, sedemikian
cepat pula kehidupan kembali hadir. Dimulai dari laba-laba yang merajut jejaring
di atas hamparan tabula rasa, aneka jenis makhluk hidup kemudian tumbuh dan
berkembang di sana. Krakatau membangun tubuhnya, menghancurkan diri, lalu
melahirkan Anak Krakatau, untuk menempa kita agar bersiasat hidup bersanding
alam.
#Sekitar rel kereta api di Merak hancur oleh erupsi Krakatau
tahun 1883.
#Sekitar rel kereta api di Merak Banten, kin telah
berubah menjadi pemukiman, Rabu (10/8).
#Bongkahan koral seberat 600 ton terangkat ke darat sejauh 100 m oleh
gelombang tsunami dari erupsi Krakatau tahun 1883.
#Bongkahan koral seberat 600 ton terangkat ke darat ini masih dapat
disaksikan hingga saat ini, tak jauh dari mercusuar Anyer, Banten, Minggu
(21/8).
#Permukiman di Anyer porak-poranda akibat tersapu gelombang tsunami dari
erupis Krakatau 1883. Ketiga foto dokumentasi di atas dibuat ole hWoodbury dan
Page pada tahun 1885.
#Kawasan Anyer, Banten, saat ini dipenuhi dengna dereta nrumah dan
pertokoan, minggu (21/8).
Comments
Post a Comment