NUSANTARA| TRADISI BERTANI
Harmoni
Memancar dari Puncak Golo Cara
tukang-jalan.com® – JIKA Raja Alexander Baruk masih hidup,
tentulah ia bangga menyaksikan buah rintisannya. Dari puncak Bukit Golo Cara,
tampak hamparan sawah berpola jaring laba-laba menyebar luas. Keindahannya
menciptakan harmoni sekeliling lembah yang menghijau permai.
Sesaat diangkat sebagai Raja
Manggarai tahun 1931, Baruk yang merupakan anak Kraeng Tamur, Raja Todo (salah
satu kerajaan di Flores), melihat dataran di antara perbukitan Manggarai sangat
cocok dikembangkan pertanian. Selama itu, pertanian belum berkembang karena
berlangsung di atas lahan kering.
Ide mengembangkan model pertanian
didapat sang raja setelah mengunjungi Bali. Di sana, pertanian berkembang dalam
petak-petak sawah berundak. Tahun 1939, Baruk kembali dan memperkenalkan model
pertanian serupa kepada masyarakat. Pengelolaannya disempurnakan filosofi lokal
yang kemudian dikenal dengan sebutan pertanian Lodok.
Model Lodok menyiratkan ikatan kuat
titik pusat hingga bagian terluar di setiap hamparan luas sawah (lingko). Hubungan itu terwujud dalam
bentuknya yang khas, seperti jaring laba-laba.
Bentuk sawah seperti ini akan lazim
didapati di wilayah Manggarai yang berada di bagian barat PUlau Flores. Salah
satunya tampak di Lembah Lingko Pong Ndung, Dusun Cara, Kelurahan Waebelang,
Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Kawasan ini kerap disebut persawahan
Cancar.
Cancar merupakan proyek awal Raja
Baruk. Di sana, dapat disaksikan harmoni dan keindahan dari Bukit Golo Cara
yang berjarak hanya 15 km dari Kota Ruteng. Mendaki bukit itu dnegna berjalan
kaki sekitar 10 menit akan tampak jelasa hamparan sawah berpola jaring
laba-laba menyebar .disekelilingnya tampak perbukitan hijau.
Di Dusun Cara, ada delapan kampung
yang mengelola sawah model Lodok, yakni Kampung Cara, Weol, Cobol, Nggawang,
Sampar, Maras, Rentung, dan Laja. Pembagian luas kelola sesuai dengan ketentuan
adat. Sawah melambangkan persatuan masyarakat karena berasal dari satu titik
yang sama. “Kami menggunakan sumber air yang sama. Kalau luas lahan berbeda,
hal itu wajar karena di dalam adat ada pembagian. Semua warga menerima,” kata
Basilius Nogot (60), warga setempat.
Hal pokok
Bagi orang Manggarai, ada lima hal
pokok yang menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan mereka. Pertama, mbaru bate kaeng alias rumah, uma bate kaeng atau lahan/lingko sebagai sumber nafkah, wae bate teku yaitu mata air, nafas bate labar atau halaman besar kolektif di tengah kampung, dan compang bate yang berarti altar sebagai
pusat kekuatan roh kampung.
Dengan demikian, lingko memenuhi
kebutuhan uma bate duat. Lingko dapat berupa sawah, kebun, atau semak belukar.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Nusa Cendana, Kupang, mengatakan, pengolahan sawah di Manggarai berada dalam
kendali dua pimpinan adat. Mereka adalah tua
teno yang berkuasa atas lahan pertanian dan tua golo sebagai penguasa kampung.
Keduanya sama-sama bertugas
membangun kampung dan menciptakan kesejahateraan masyaraakt melalui pengolahan
sawah, yang disebut system moso atau
jari tangan. Tangan bekerja untuk hidup. Bentuk jari tangan ini selanjutnya
berubah mirip jaring laba-laba tahun 1980-an.
Saat musim tanam dimulai, tua golo akan menabuh gendang di rumah
adat. Hal itu bermakna memanggil warga untuk turun ke sawah. Semakin kuat
gendang ditabuh, menandakan panggilan kian mendesak. Pengolahan sawah harus
segera dilaksanakan dengan berbagai alasan, misalnya hujan segera turun.
Yang merealisasikan pekerjaan di
lapangan adalah tua teno. Ketika
petani duah berkumpul di sawah, tua teno membagi-bagi lahan secara adil menurut
status sosial. Dari titik pusat yang terletak persis di tengah hamparah,
ditarik garis pembatas membentuk semacam segitiga sama kaki kea rah terjauh.
Kepala suku pun mendapatkan bagian
terluas dan paling mendekat titik pusat sawah. Semakin rendah status sosial
seseorang, jatah luas sawahnya semakin kecil dan letaknya paling jauh dair
pusat. Namun, semakin banyak anggota dalam kelompok suku, luas lahannya dapat diperbesar.
Titik tengah akan ditanami sebuah
pohon. Areal awah di titik tengah menjadi milik tua teno. Itulah pusat koordinasi dari semua kegiatan selam musim
tanam hingga panen. Sang pemimpin wajib menyatukan semua petani dalam berbagai
keadaan, baik untung maupun malang.
Selesai pembagian lahan, padai pun
ditanam serentak. Jika ada hama, akan dibasmi serentak. Begitu pula pembagian
air merata. Sebagaimana diterapkan di Bali, sawah Lodok dibuat berundak-undak
menyesuaikan ketinggiannya. Jadi, tidak satu pun yang bisa memonopoli air
irigasi. Lokasi sawah palign jauh pun mendapat jatah pengairan yang sama. Pada
akhirnya, panen dilakukan serentak.
Surplus beras
Di tengah kondisi Provinsi NTT yang
identik dengan kekeringan, Manggarai memberi gambaran pencerahan. Pengembangan
sawah seluas 11.595 ha atau dengan real tanam 21.500 ha per tahun itu
menjadikan Manggarai sebagai produsen berasa terbesar di NTT. Produksi berasnya
surplus hignga 30.000 ton per tahun.
Khusus di wilayah Cancar, dari
sejumlah luas sawah yang dibuka Raja Baruk 120 ha, kini meluas menjadi 1500 ha.
Areal dikelola oleh hampir 6.000 petani yang tesebar di 10 desa di Ruteng.
Bentu ksawah petak jaring laba-laba
sangat cocok di daerah vulkanik berstruktur tanah labil dan mudah tergerus saat
hujan. Dengan kondisi topografi Manggarai sebagian besar berbukit-bukit,
pengelolaan lahan dengan model berundak sangat bermanfaat mengurang potensi
tanah longsor.
Pertanian di wilayah itu, uniknya,
juga sarat akan ritual adat. Sebagai contoh, untuk penanaman benih pertama,
petani memerciki benih padai dengan darah. Percikan itu dimaknai agar benih
dapat bertumbuh dan memberi hasil melimpah .ada pula ritual kalok, yakni
ungkapan syukur atas hasil buah yang mengisi tanaman. Ada lagi ritual karong
woja wole sebagai puncak syukur atas seluruh hasil yang diperoleh petani. Dalam
ritual ini, kaum perempuan berpawai dari sawah menuju permukiman dengan
menyematkan mahkota padi.
Tokoh masyarakat Manggarai, Marianus
Ardu Jelamu, menilai, filosofi dasar dari sawah berbentuk sarang laba-laba
menunjukkan persatuan, gotong royong, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan.
“Apa pun perbedaan ,semua tetap satu. Ada semacam genealogi atau turunan darah
dari leluhur yang satu dan sama, kemudian melahirkan komunitas masyarakat yang luas.
Di sinilah tercipta harmoni kehidupan,” kata Jelamu yang juga Kepala Dinas
Pariwisata NTT. [*/tukang-jalan.com®
Sumber : KOMPAS, Sabtu, 26 November 2016|Oleh : KOR/FR/ITA]
Baca juga :
Keywords : Puncak Golo Cara,Tradisi
Bertani,Harmoni.
Tags : Pemandangan Sawah, Cancar, Ruteng, Manggarai, Pulau Flores,ruteng.
Description :
# Pemandangan Sawah berbentuk jaring laba-laba
yang terdapat di Cancar, Ruteng, Manggarai, Pulau Flores. Model pembagian
dengan cara menarik garis dari titik tengah sehingga berbentuk mirip jaring ini
menjadi salah satu destinasi wisata di Pulau Flores, NTT.
Comments
Post a Comment